Minggu, 29 Mei 2011

Keadilan bukan Masalah Rasa dalam Hati

Ketika si Rosa pergi untuk melakukan KKN di sebuah desa di Garut, tiba-tiba saja Rosamom merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Dia merasa sangat kehilangan putrinya yang akan pergi selama dua bulan itu. Sebuah kesedihan yang merayap dalam hati yang berakar pada rasa sayang pada anak perempuan sulungnya itu.Anehnya Rosamom tidak merasa kehilangan ketika tahun kemarin adik perempuan sheRosa pergi juga selama 2 bulan untuk magang di sebuah perusahaan di Surabaya. Sebenarnya bukan tidak merasa kehilangan, tetapi hanya ada sedikit rasa sedih saat si adik pergi. Akibatnya Rosamom menganggap dirinya diam-diam lebih menyayangi sheRosa dibanding adiknya. Dan itu membuatnya merasa bersalah karena telah memperlakukan kedua anaknya dengan cara berbeda. Rosamom merasa dirinya bukanlah ibu yang adil!.Menurut Rosamom dan mungkin juga banyak orang lainnya -- keadilan bukan hanya hal-hal fisik tetapi juga meliputi soal rasa dalam hati. Benarkah tuntutan keadilan juga termasuk dalam soal rasa sayang dalam hati?. Sebelum menjawab pertanyaan itu perlu terlebih dahulu disadari bahwa hati tidak sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Hati bisa berjalan kesana-kemari membolak-balik tanpa sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Demikian juga dengan rasa suka dan sayang dalam hati.

Seorang hakim tidak dituntut untuk menyukai dua pihak yang bersengketa dengan rasa suka yang sama. Dia bisa saja lebih menyukai salah satu pihak karena tutur katanya lebih sopan atau lebih cocok dengan kepribadian si hakim. Namun si hakim dituntut memperlakukan kedua belah pihak dengan sama. Perlakuan yang adil terhadap bukti-bukti yang mereka ajukan. Perlakuan yang sama dalam kesempatan untuk membela diri dan mengajukan keberatan atas tindakan lawannya. Pada intinya perlakuan fisik harus sama, sedang soal hati bukanlah urusan pengadilan.

Demikian juga dengan seorang ibu terhadap anak-anaknya. Dia tidak dituntut untuk menyayangi semua anaknya dengan cinta yang sama persis. Sedikit banyak rasa itu dipengaruhi oleh kelakuan si anak. Anak yang nakal dan bandel mungkin akan mendapat rasa sayang yang lebih sedikit dibanding anak yang baik. Anak yang rajin bisa saja mendapat lebih banyak rasa sayang dibanding anak pemalas.


Namun orangtua harus memperlakukan seluruh anggota keluarganya dengan adil. Misalnya soal pakaian, kamar tidur, uang saku dan fasilitas sekolah haruslah sederajad. Demikian juga dalam hal perhatian terhadap si anak, pengembangan kepribadian anak, pembagian tugas rumah tangga dan hukuman bila seorang anak melakukan kesalahan haruslah sama. Pada intinya Ibu yang adil, ayah yang adil, suami yang adil dan istri yang adil adalah istilah untuk kesamaan perlakuan fisik yang terukur dan bukan masalah rasa dalam hati

Kamis, 19 Mei 2011

Menginspirasikan Tokoh (R.A Kartini)

R.A KARTINI
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).

Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.
Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.
Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.
Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.
Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.
Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Disinilah alasan saya menginspirasikan R.A Kartini karena beliau wanita yang hebat. Saya ingin pintar, rajin membaca buku, dan bisa menjadi wanita tangguh seperti beliau. Beliau juga yang mengangkat derajat wanita agar wanita tidak bisa ditindas terus oleh kaum pria. Saya juga ingin seperti beliau yang menulis buku yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Kamis, 12 Mei 2011

Langkah Kecil Mencegah Bahaya Besar (Fight Global Warming!)

Melanjutkan tulisan sebelumnya mengenai “Pengaruh Pemanasan Global terhadap Kesehatan“. WHO (World Health Organization) sebagai organisasi kesehatan dunia mengangkat isu ini menjadi tema dari Hari Kesehatan Sedunia (HKS) tahun 2008, yaitu Protecting Health from Climate Change atau Melindungi Kesehatan dari Perubahan Iklim. Sebenarnya masalah kesehatan merupakan masalah ‘hilir’ dari pemanasan global (Global Warming) dan perubahan iklim (Climate Change). Hulu permasalahannya ada pada bidang lain yang lebih dulu merasakan dampaknya. Dokter dan tenaga medis lainnya menjadi ‘tukang cuci piring‘ jika hanya mengobati saja. Karena itu, yang jauh lebih penting adalah upaya adaptasi terhadap perubahan iklim yang telah terjadi dan upaya untuk mengurangi dampak buruk dengan berbagai langkah pencegahan.
Berbicara tentang langkah-langkah pencegahan, banyak yang berkomentar kalau merasa diri belum siap. Belum siap untuk menggunakan mobil hybrid, belum siap untuk tidak menggunakan AC, belum siap untuk tidak menggunakan komputer lama-lama. Padahal hal tersebut hanya beberapa dari berbagai langkah untuk mencegah pemanasan global. Masih banyak cara lainnya. Wiellyam menyebutkan 3M pada postinganku sebelumnya: Mulai dari hal kecil, Mulai dari diri sendiri dan Mulai dari sekarang.
Ada sebuah persepsi yang menurut saya agak keliru, upaya mencegah pemanasan global sering diidentikkan dengan kembali ke jaman batu. Tidak menggunakan pesawat terbang ketika berpergian, tidak menggunakan komputer, tidak menggunakan kendaraan bermotor dan masih banyak lagi tidak-tidak yang lain. Memang itu penting dalam mencegah pemanasan global, tetapi menurut saya jangan sampai upaya kita untuk peduli pemanasan global membuat kita tidak produktif dalam bekerja. Hiduplah sewajarnya. Jika memang dirasa perlu berpergian menggunakan pesawat terbang, ya gunakanlah. Jika memang perlu menggunakan komputer, ya gunakanlah. Upaya peduli bisa kita tunjukkan dari penggunaan yang ‘sewajarnya’. Jika tidak digunakan harap dimatikan.
One Small Step is a Big Leap
Beberapa bulan yang lalu ketika di Bali terjadi krisis energi listrik, PLN menghimbau untuk mematikan sebuah lampu 5 watt yang biasa dihidupkan pada malam hari antara pukul 19.00-21.00 WITA, karena pada jam-jam tersebut sedang terjadi beban puncak pemakaian listrik. Terdengar kecil kan? Hanya sebuah lampu 5 watt. Namun bila seluruh Bali mau peduli untuk mematikan lampu 5 watt yang biasa dihidupkan tersebut, maka krisis energi listrik dapat teratasi. One small step is a big leap, satu langkah kecil yang dilakukan sejak dini adalah lompatan besar di masa yang akan datang. Jangan ragu untuk berbuat hal kecil demi kebaikan di masa depan. Begitulah harapan untuk menggugah setiap orang untuk bisa ikut andil dalam usaha peduli Global Warming.